Kamis, 20 November 2008

Barotrauma


Setiap orang yang melakukan perjalanan udara ke suatu tempat atau negara lain dengan menggunakan pesawat terbang, tentu akan lega ketika mengetahui pesawat yang ditumpanginya sebentar lagi akan landing atau mendarat di bandara yang dituju. Hal tersebut merupakan akhir dari perjalanan udara yang penuh dengan resiko, apalagi kalau kita menggunakan pesawat dari maskapai nasional tentunya. Pendaratan di bandara juga bisa merupakan awal dari kunjungan kita ke suatu tempat wisata yang kita impikan atau pertanda bahwa sebentar lagi kita akan bertemu dengan orang-orang yang kita cintai. Oleh karenanya ketika pramugari mengumumkan bahwa sebentar lagi kita akan mendarat di bandara tujuan, sudah pasti setiap orang akan lega dan senang, namun tidak demikian dengan saya, karena itu adalah awal dari penderitaan saya!

Setiap pesawat yang saya tumpangi bersiap untuk mendarat, maka saya akan mulai mengalami rasa penuh dan mendenging pada telinga saya, keadaan itu akan berlanjut menjadi rasa sakit dan nyeri yang amat sangat di sekitar telinga saya. Pada saat puncak kesakitan, saya akan merasakan telinga saya seperti ditusuk-tusuk oleh benda keras. Ketika pesawat telah mendarat, penderitaan saya belum berakhir, saya akan mengalami tuli sementara dan butuh waktu beberapa jam untuk dapat normal kembali. Penderitaan itu telah berlangsung sejak lama. Tuntutan pekerjaan, tempat tinggal orang tua dan keluarga yang jauh dari tempat tinggal saya, dan kebiasaan melakukan travelling, membuat saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan angkutan pesawat udara.

Kata dokter, penderitaan yang saya alami ini karena saya menderita Barotrauma. Mungkin banyak dari kita yang tidak paham apa itu Barotrauma. Menurut dr. Ossyris Abu Bakar, Barotrauma adalah rasa sakit di daerah sekitar telinga yang diakibatkan oleh adanya perubahan tekanan udara yang tiba-tiba di luar telinga tengah di dalam pesawat terbang yang menyebabkan tuba eustachius gagal untuk membuka. Pada saat pesawat akan mendarat akan timbul tekanan negatif pada liang telinga tengah, positif pada bagian luar genderang telinga, akibatnya terjadi retraksi-penarikan ke arah dalam.

Ada beberapa cara pencegahan atau antisipasi timbulnya Barotrauma tersebut, salah satu cara yang sudah saya praktekkan dan terbukti manjur adalah dengan mengunyah makanan. Jenis makanannya tidak ditentukan, apa saja, namun disarankan makanan yang nyaman untuk dikunyah. Sederhana memang, namun tindakan mengunyah makanan tersebut akan menormalkan fungsi tuba eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah keluar melalui nasopharynx. Setiap kali saya melakukan aktifitas itu, sebagian orang yang melihatnya mungkin akan heran. Betapa tidak, ketika semua orang sibuk mengencangkan tali pengikat pinggang di kursinya masing-masing, saya malah sibuk mengunyah makanan. Saya akan terus mengunyah dengan kencang, seperti orang kelaparan yang baru memperoleh makanan.

Bagi yang sedang berpuasa atau sedang diet, dapat melakukan valsava manuver, yaitu meniupkan udara dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet serta mulut ditutup. Satu lagi cara yang agak ekstrim dan butuh keberanian yang luar biasa adalah ketika pesawat mau mendarat, kita tidak perlu duduk manis di kabin pesawat, tapi segeralah membuka pintu darurat dan langsung terjun lebih dulu, tentu dilengkapi dengan parasut agar kita bisa mendarat dengan selamat. Namun cara yang terakhir ini tidak saya anjurkan untuk dipraktekkan.

Saya hanyalah salah satu penderita Barotrauma, saya yakin masih banyak orang atau teman-teman yang juga mengalami hal yang sama dengan saya. Semoga tulisan ini bermanfaat buat penderita Barotrauma untuk tidak kapok naik pesawat udara.

Selasa, 18 November 2008

Pengabdian Dua Orang Bidan

Pada awal ramadhan lalu, ketika sebagian besar umat muslim sedang menjalani ibadah puasa, berjuang menahan lapar dan haus, sebagian lagi mungkin masih terlelap dalam tidur siangnya, saya menyempatkan waktu untuk menonton acara talk show favorit saya di televisi, Kick Andy. Ada seorang Ibu setengah baya, namanya Ibu Siti Aminah. Beliau adalah seorang bidan, tapi bukan bidan biasa. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya di bidang kesehatan, Ibu Aminah ini ternyata telah lama membaktikan hidupnya untuk membantu masyarakat miskin di kawasan kumuh, Cilincing, Jakarta Utara serta perkampungan nelayan di Bekasi dan sekitarnya. Bersama mobil ambulance dan seorang supir, Ibu Aminah berkeliling kampung mencari pasien. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, apabila sang supir berhalangan, Ibu Aminah sendirilah yang mengemudikan mobil pribadinya yang telah disulap menjadi mobil ambulance itu untuk berkeliling kampung, mencari pasien, dan mengobatinya di tempat.

Kita sering mendengar atau membaca di media massa, banyak orang sakit yang berasal dari keluarga miskin, terpaksa harus mengurut dada dan pulang ke rumah setelah ditolak oleh pihak rumah sakit karena tidak mampu membayar uang jaminan. Alhamdulillah, di tengah kota metropolitan Jakarta yang individualistis ini, masih ada seorang tenaga kesehatan seperti Ibu Aminah ini. Tenaga Kesehatan yang tidak pernah meminta bayaran kepada pasiennya, apalagi meminta uang jaminan. Malah tidak jarang, justru Ibu Aminahlah yang mengeluarkan uang untuk membayarkan uang jaminan, ketika ada pasiennya yang terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Bahkan Ibu Aminah pernah menjual perhiasan miliknya demi membantu salah seorang pasiennya.

Seorang bidan lagi bernama Ros Rosita. Wanita berjilbab ini telah mengabdikan hidupnya untuk melayani kesehatan orang-orang suku Baduy selama lebih dari 10 tahun. Bidan yang akrab dipanggil Bidan Ros ini, rela menempuh perjalanan dengan jalan kaki hingga 6 jam lamanya, demi mengunjungi para pasiennya di pedalaman hutan Kanekes, Leuwidamar, Lebak, Banten. Bidan Ros ternyata memerlukan waktu 2 tahun lamanya agar metode dan peralatan medis modern miliknya, seperti jarum suntik, obat-obatan, dan konsep imunisasi, bisa diterima di kalangan suku Baduy yang terkenal sangat anti terhadap segala hal yang berbau modern.

Hingga kini, Bidan Ros tetap menjalani pelayanan kesehatan dengan waktu praktik 24 jam dengan bayaran seadanya. Misalnya pada awalnya, setelah membantu seorang ibu melahirkan, biasanya dia dibayar hanya sepuluh ribu rupiah. “Alhamdulillah sekarang sudah naik sedikit menjadi dua puluh ribu rupiah,” tutur Bidan Ros sambil tersenyum, seorang bidan yang berkeinginan untuk mendirikan rumah bersalin di kawasan suku Baduy.

Saya yakin, di negeri ini masih banyak tenaga kesehatan atau orang-orang dengan profesi lain yang terpanggil hatinya untuk membaktikan hidup dalam membantu orang-orang yang tidak mampu seperti Ibu Aminah dan Ros Rosita. Hanya saja, jumlahnya masih sangat sedikit, tidak seimbang dengan jumlah orang yang membutuhkan bantuan. Mari kita berdoa buat Ibu Aminah dan Ros Rosita serta semua orang-orang yang berhati mulia untuk tetap semangat dalam perjuangannya membantu orang-orang yang tidak mampu. Kita mungkin belum bisa berbuat banyak seperti kedua bidan ini, namun setidaknya, Ibu Aminah dan Ros Rosita telah menjadi inspirasi bagi kita, untuk terpanggil dan mulai melakukan sesuatu, sekecil apapun itu, untuk membantu orang-orang yang lemah. Semoga.