Sabtu, 26 Desember 2009

Prita dan Reformasi Pelayanan Kesehatan

Koin keadilan dari masyarakat luas untuk Prita Mulyasari yang akhirnya terkumpul mencapai Rp 650 juta dan masih terus bertambah hingga hari ini. Koin-koin tersebut telah diserahkan ke Prita untuk membayar denda Rp 204 juta yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang memenangkan gugatan perdata dari Rumah Sakit Omni Internasional (RS Omni) terhadap Prita, sedangkan sisanya akan disumbangkan kepada yayasan untuk membantu orang-orang yang mengalami nasib yang sama dengannya. Prita yang sekedar mencurahkan perasaan kecewanya atas buruknya pelayanan RS. Omni melalui media internet, justru digugat dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Meski kemudian RS Omni mencabut gugatan perdatanya tersebut, namun masalah pidana yang sempat membuat Prita harus meringkuk di penjara selama 3 minggu, belum selesai. Ketidakadilan yang diterima oleh Prita menuai simpati yang luar biasa dari masyarakat luas. Betapa tidak, di Negara yang sudah tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan dan keadilan kepada rakyatnya, ternyata masih memiliki cukup banyak warga Negara yang peduli dan punya hati nurani.


Kasus Prita ini dapat ditinjau dalam banyak perspektif, salah satunya adalah masalah pelayanan kesehatan. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi dan merupakan kewajiban Pemerintah selaku penyelenggara Negara untuk memfasilitasinya, namun kasus yang dialami Prita ini telah menunjukkan kepada kita bagaimana Pemerintah selaku penyelenggara Negara telah gagal dalam melaksanakan kewajibannya itu. Sesungguhnya apa yang dialami oleh Prita adalah ibarat fenomena gunung es yang tampak di permukaan laut, masih banyak Prita-prita lain yang mengalami nasib serupa karena pelayanan kesehatan yang buruk dan ketidakadilan.


Kita tentu sering mendengar keluhan mengenai mahalnya biaya perawatan di rumah sakit dan harga obat-obatan. Banyak pasien yang mengalami penolakan karena tidak mampu menyediakan uang jaminan. Kalaupun kemudian diterima untuk dirawat, pasien akan dibebankan biaya perawatan dan obat-obatan yang sangat memberatkan. Padahal Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Pengertian layak di sini tentu tidak terbatas pada fasilitas gedung dan peralatannya saja, akan tetapi juga adalah pelayanan dan harganya yang terjangkau. Buruknya pelayanan kesehatan yang diterima oleh Prita dan masyarakat umum adalah bukti kegagalan Pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak.


Oleh karenanya sudah merupakan kewajiban Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk lebih mengoptimalkan lagi kinerjanya dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Sebenarnya Pemerintah sudah menerbitkan cukup banyak undang-undang dan peraturan yang terkait dengan pelayanan kesehatan, seperti misalnya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


Dalam Undang-undang tentang Kesehatan telah diatur mengenai keterjangkauan biaya kesehatan, dimana Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharuskan mengalokasikan anggaran masing-masing 5% dan 10% untuk pelayanan kesehatan, diatur juga mengenai jaminan pengendalian harga obat yang terjangkau dan perlindungan hukum kepada pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.


Dalam Undang-undang tentang Praktik Kedokteran juga telah diatur mengenai hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis terhadap dirinya, seperti diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis dan mendapatkan isi rekam medis. Diatur juga kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar dan prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan, dokter juga berkewajiban untuk melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya, bahkan diatur juga hukuman pidana kurungan satu tahun atau denda hingga Rp 50 juta kepada setiap dokter yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya tersebut.


Sementara dalam Undang-undang tentang Rumah Sakit juga telah diatur mengenai pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) yang bertugas untuk mengawasi kinerja rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya. Pasien dapat menyampaikan keluhannya kepada BPRS tersebut. Undang-undang ini secara khusus melindungi pasien yang datang ke rumah sakit, dimana pihak rumah sakit tidak boleh lagi menolak warga masyarakat yang datang untuk berobat. Bahkan juga telah diatur mengenai hukuman pidana penjara 10 tahun atau denda Rp 1 miliar kepada pihak rumah sakit yang menolak warga masyarakat yang datang ke rumah sakit untuk berobat.


Undang-undang dan peraturan terkait sebenarnya sudah cukup banyak tersedia, kini tinggal niat dari Pemerintah, dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan untuk mengimplementasikannya dengan melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas. Apabila undang-undang dan peraturan terkait tersebut dilaksanakan, semestinya kasus-kasus seperti yang dialami oleh Prita tidak perlu terjadi.


Lantas bagaimana kelanjutannya? Kita tunggu kebijakan Ibu Menteri Kesehatan kita yang baru, Dr. dr. Endang Rahayu Sedyaningsih dalam melanjutkan reformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri ini agar sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (3) yang telah mengamanatkan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Semoga.

Adnan Abdullah

(dari berbagai sumber)

Minggu, 22 November 2009

Biaya Promosi Obat

Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan dengan maksud untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk, baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan. Oleh karenanya adalah hal yang lumrah, bahkan semestinya suatu perusahaan menjadikan biaya promosinya sebagai pengurang penghasilan bruto. Namun demikian, besarnya biaya promosi yang dikeluarkan tersebut tetap harus mengacu pada prinsip kewajaran menurut kebiasaan pedagang yang baik, apalagi kalau biaya promosi tersebut dikaitkan dengan penghitungan dan pelaporan pajak. Hal tersebut berlaku juga untuk Biaya Promosi bagi industri atau perusahaan farmasi.

Dalam prakteknya, ada berbagai mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dalam mempromosikan produk obat-obatannya, selain dengan cara-cara umum, seperti melalui media cetak dan elektronik, perusahaan farmasi juga sering melakukan promosi melalui media lain, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Biaya registrasi, tiket pesawat, dan hotel untuk para dokter dalam mengikuti training yang berhubungan dengan produk perusahaan farmasi yang dibayarkan langsung ke panitia dan travel agent tersebut kemudian dibiayakan sebagai Biaya Promosi yang dijadikan pengurang penghasilan bruto.

Namun demikian dalam perpajakan, Biaya Promosi yang dijadikan pengurang penghasilan bruto oleh perusahaan farmasi tersebut, sering tidak diakui atau dikoreksi oleh pemeriksa pajak dalam proses pemeriksaan pajak terutangnya. Alasan pemeriksa pajak melakukan koreksi karena biaya tersebut dianggap bukan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

Menurut pemeriksa pajak, biaya tersebut dikoreksi karena dikeluarkan hanya untuk kepentingan para dokter yang mengikuti suatu seminar kesehatan dan diikuti oleh berbagai macam produsen obat, bukan khusus untuk mempromosikan produk perusahaan farmasi yang bersangkutan saja. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara. Perusahaan farmasi sendiri beralasan obat-obatan yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi yang masuk dalam kategori ethical atau prescription product (obat resep), sesuai kode etik pemasarannya, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara umum seperti melalui media cetak dan elektronik, akan tetapi melalui media yang bersifat ilmiah, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Tujuannya agar setelah para dokter mengetahui kegunaan obat-obatan tersebut akan menuliskan obat-obatan tersebut pada resep untuk pasiennya.

Penjelasan dari perusahaan farmasi tersebut cukup logis, namun demikian sudah menjadi rahasia umum mengenai adanya kebijakan tertentu perusahaan farmasi kepada dokter-dokter yang meresepkan obat mereka. Modusnya bermacam-macam, mulai dari biaya mengikuti seminar sekaligus liburan ke luar negeri, hingga pemberian hadiah mobil baru. Hal ini tentu akan mendorong para dokter untuk meresepkan obat dengan harga yang relatif mahal dan memberatkan pasiennya. Di negara lain, harga obat paten paling mahal dua kali obat generik, namun di Indonesia, selisihnya bisa sampai 20 kali lipat. Oleh karenanya memang diperlukan adanya regulasi dari pemerintah untuk menjaga tingkat kewajaran Biaya Promosi tersebut menurut kebiasaan pedagang yang baik, guna menghindari hilangnya potensi penerimaan pajak Negara dan melindungi kepentingan pasien serta pelayanan kesehatan secara umum.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 104/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa biaya promosi dan/atau biaya penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria-kriteria seperti untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan, dikeluarkan secara wajar menurut adat kebiasaan pedagang yang baik, dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas, dan diterima oleh pihak lain.

Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur Biaya Promosi dibatasi hanya boleh dibiayakan sebanyak satu kali oleh produsen atau distributor utama atau importir tunggal. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto juga dibatasi tidak melebihi 2% dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00. Perusahaan farmasi juga wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan pada pihak lain. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok. Adapun tata cara pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Seperti sudah diduga sebelumnya, peraturan Menteri Keuangan tersebut dikeluhkan oleh Gabungan Pengusaha Farmasi, terutama mengenai batasan 2% Biaya Promosi dari peredaran usaha. Batasan 2% tersebut dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan farmasi di seluruh dunia yang tak kurang dari 25 persen dari peredaran usaha per tahun. Lantas bagaimana kelanjutannya? Rasanya perlu dicarikan jalan keluar yang adil, adil bukan hanya untuk perusahaan farmasi, tapi juga adil buat penerimaan pajak Negara, dan adil buat pasien atau pelayanan kesehatan secara umum. Kita tunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.

Minggu, 07 Juni 2009

Prita, Ironi Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Nama Prita Mulyasari tiba-tiba begitu populer belakangan ini. Kasus yg dialaminya tidak hanya menjadi perhatian publik di dalam negeri tapi juga sudah menyita perhatian dunia.

Kasus yg menimpa Prita memang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, seorang yang mencurahkan perasaan kecewanya kepada temannya melalui e-mail atas pelayanan rumah sakit yg buruk terhadapnya, justru dituduh telah melakukan pencemaran nama baik, dan yang lebih luar biasa lagi, aparat hukum kita bertindak begitu agresif dengan melakukan penahanan terhadap dirinya, meski 3 minggu kemudian, atas desakan banyak orang penting, ibu dua anak yg malang itu dikeluarkan dari tahanan dan berganti status sebagai tahanan kota.

Prita dituduh telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, tepatnya dia dituduh telah melanggar Pasal 27 juncto Pasal 45 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Sangat ironis memang nasib yg dialami Prita, bisa diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga pula, setelah mendapat pelayanan yg buruk di rumah sakit, sekedar hanya ingin curhat, malah dimasukkan ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Sebenarnya respon yang dilakukan oleh pihak rumah sakit tersebut adalah hal yg lumrah jika ditinjau dari aspek bisnis. Tersebarnya e-mail Prita di milis internet tentu sangat merugikan marketing mereka. Yang menjadi tidak wajar adalah respon pihak rumah sakit yang berlebihan. Keberatan pihak rumah sakit atas e-mail Prita tersebut sebenarnya cukup dilakukan dengan menggunakan Hak Jawab pihak rumah sakit, tidak perlu sampai menuntut ke pengadilan. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan aparat hukum yang terkesan sangat berlebihan, hanya karena e-mail curhat itu, Prita dijerat dengan Undang-undang ITE dan Pidana.

Sebagaimana diungkapkan oleh Wakadiv. Humas Polri, Brigjen. (Pol) Sulistyo Ishak, penyidik harus bersikap netral dalam menerima laporan pencemaran nama baik, ketika polisi menerima laporan tersebut, tidak berarti polisi berpihak kepada pelapor, namun polisi juga harus menelisik apakah memang betul ada unsur pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan, apabila tidak memenuhi unsur pidana, maka penyidikannya bisa dihentikan.

Jaksa Agung, Hendarman Supandji juga telah mengakui ketidakprofesionalan anak buahnya dan telah memerintahkan dilakukannya eksaminasi khusus, segala sesuatu yang menyangkut penanganan perkara tersebut. Bahkan menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Abdul Hakim Ritonga, jika ditemukan indikasi suap dalam kasus tersebut, maka jaksa yang menangani kasus tersebut dapat langsung masuk ke pengawasan fungsional, bahkan bisa juga dipidana. Namun kenyataannya kini, jaksa penuntut tetap melanjutkan tuntutannya dengan alasan mereka meyakini Prita memang telah melakukan pencemaran nama baik.

Kasus Prita ini jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia untuk mengeluarkan pendapat, perlindungan terhadap pasien, dan indikasi buruknya pelayanan kesehatan di negeri ini. Banyaknya keluhan masyarakat atas buruknya pelayanan di rumah sakit akan terus berlanjut karena pihak rumah sakit dapat berlindung di balik pasal-pasal karet tentang pencemaran nama baik, tergantung pada kepentingan pihak-pihak tertentu. Kasus ini juga akan menjadi pertaruhan kredibilitas aparat penegak hukum kita di mata internasional yang semakin buruk.

Selasa, 05 Mei 2009

Flu Babi

Ternyata bukan hanya mode pakaian atau teknologi informasi yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, penyakit juga demikian. Dulu dunia digegerkan oleh kehadiran virus HIV AIDS yang telah menimbulkan banyak korban jiwa, lalu ada SARS, lalu flu burung, kini telah muncul lagi wabah baru yang sedang trend yakni Flu babi (Swine Influenza).

Penyakit flu babi yang disebabkan oleh virus H1N1 ini bahkan lebih ganas daripada flu burung. Hanya dalam tempo dua minggu, virus ini telah menimbulkan korban 150 orang di Meksiko. Hingga kini telah ditemukan sekitar 2.500 kasus dengan korban tewas 159 orang. Kecepatan penyebarannya juga luar biasa, dalam satu hari saja, virus ini telah merambah ke dua negara. Amerika Serikat, salah satu negara tetangga terdekat Meksiko merupakan negara kedua dengan korban terbesar hingga saat ini. Virus ini diduga juga telah menyebar ke negara-negara Eropa dan Asia.

Berdasarkan riset Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, H1N1 tipe Meksiko diduga kuat gabungan flu unggas, flu babi, dan flu manusia. Virus kemungkinan berubah di tubuh babi.

Gejala klinis yang dialami oleh penderita, umumnya sama dengan gejala flu pada umumnya, demam, batuk pilek, lesu, letih, nyeri tenggorokan, sesak napas, hingga akhirnya mual, muntah, dan diare.

Hingga saat ini, selain Meksiko dan Amerika Serikat, virus flu babi ini telah merambah ke Kanada, Spanyol, dan Selandia Baru. Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan antisipasi dalam mencegah masuknya virus flu babi ini, seperti pelarangan impor babi untuk sementara, pemasangan thermoscanner atau alat pemindai panas di sepuluh bandara internasional, travel warning ke Meksiko, dan pengawasan peternakan babi yang tersebar di seluruh Indonesia. WHO juga menekankan bahwa yang harus diwaspadai justru penularan virus ini antar manusia. Sebagian pengidap di Amerika, Spanyol, dan Selandia Baru, terbukti tak bersentuhan dengan babi.

Adapun antisipasi yang bisa kita lakukan secara pribadi agar diri kita dan keluarga tidak terkena virus mematikan ini antara lain adalah menghindari kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi virus flu babi ini, menghindari kontak dengan penderitanya, minum tamiflu yang direkomendasikan oleh WHO, dan yang tidak kalah pentingnya tentunya dengan menerapkan pola hidup sehat, dengan kondisi tubuh yang sehat, sistem kekebalan tubuh manusia akan mampu menangkal virus apapun, sebaliknya kondisi tubuh yang lemah akan rentan akan virus apapun. Antisipasi lain tentunya adalah jangan bergaul dengan babi.

(dari berbagai sumber)